Select Menu

Slider

Gudang Pengetahuan. Powered by Blogger.

Stats

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing

Videos

» »Unlabelled » Anak Muda Islam Indonesia 'Lagunya Enak, Penampilannya Sopan'
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

Oleh Alia Swastika

SEJARAH panjang pergolakan pemikiran Islam di Indonesia menunjukkan adanya keterlibatan aktif dari kelompok anak muda. Pada masa sebelum kemerdekaan, para pemikir muda Islam memberikan kontribusi yang besar tidak saja bagi pergulatan gagasan tentang Islam itu sendiri, melainkan juga bagi tumbuhnya akar intelektualitas di Indonesia, sebut saja nama seperti Mohammad Hatta, Natsir, Ahmad Dahlan, dan sebagainya. Kemudian, bersama dengan perjalanan Indonesia selanjutnya, banyak intelektual muda Islam yang turut memenuhi jalur-jalur politik dan menjadi bagian dari birokrasi. Keterlibatan generasi muda Islam dengan politik pada masa-masa setelah kemerdekaan terwadahi dalam beberapa organisasi pemuda Islam yang cukup populer, dan menjadi bagian penting dalam gerakan mahasiswa (dalam kategori ini dapat disebut organisasi seperti HMI atau KAMMI). Pada pertengahan 60-an, salah satu tokoh intelektual muda Islam yang cukup berpengaruh adalah Ahmad Wahib. Wahib merupakan anggota HMI yang berpikiran kritis dan berpandangan luas atas ajaran-ajaran Islam. Selain bergelut dengan kelompok diskusinya, Wahib juga pernah menjadi wartawan majalah TEMPO. Buku catatan hariannya yang dibukukan setelah ia meninggal (dalam usia 31 tahun), kini bahkan menjadi semacam “buku wajib” bagi para aktivis gerakan mahasiswa Islam. Untuk periode 1980-an, bisa disebut nama Emha Ainun Najib yang menjadi bahan perbincangan karena karyanya yang fenomenal, “Lautan Jilbab”. Setelah berpuluh tahun terlibat kuat dengan gerakan politik, pada dekade 1990-an, kita melihat bangkitnya semangat keberagaman Islam di Indonesia, termasuk pada generasi mudanya. Jika sebelumnya intelektual muda Islam selalu merujuk pada mereka yang disebut sebagai kaum “modernis“, maka pada masa ini mulai terlihat keterlibatan kuat dari mereka yang seringkali dilabeli “kelompok tradisionalis”. Pada saat ini, persentuhan aktivitas keagamaan dengan aktivitas-aktivitas lain di ruang publik semakin besar. Tahun 1991, dilakukan pengubahan kebijakan tentang jilbab, dan sejak saat itu kita mendapati para perempuan muslim yang menunjukkan identitas keislamannya dengan jilbab di kampus-kampus dan sekolah-sekolah negeri. Sementara gagasan-gagasan yang secara umum dikategorikan sebagai gagasan Islam radikal atau fundamental juga menjamur di kampus-kampus. Ketika televisi swasta mulai mengudara, terjadi persentuhan antara kehidupan keberagaman dengan budaya massa. Ada banyak program televisi yang menampilkan dialog dan konsultasi keagamaan, kehidupan keagamaan para publik figuryang awalnya merupakan wilayah privatmulai diekspos dan dibagi ke masyarakat luas. Pada akhir 1990-an, tercatat juga mulai tampilnya penyanyi yang menyenandungkan lagu-lagu Islam populer seperti Hadad Alwi, Snada, Raihan, dan sebagainya. Sementara di dunia intelektual, yang menjadi pemicu polemik hangat adalah semakin menguatnya kehadiran “aliran” Islam Liberal. Perkembangan warna-warni Islam ini terus berlanjut di awal milenium ketiga. Peristiwa-peristiwa terror bom, yang dimulai dari peledakan gedung WTC di Amerika Serikat hingga kasus bom bali, mencuatkan kembali kekuatan-kekuatan “sayap kanan” yang melahirkan pahlawan-pahlawan semacam Osama bin Laden (yang kemudian menjadi ikon seperti halnya Che Guevara) atau Abu Bakar Ba’asyir, juga Amrozi. Dalam kehidupan sehari-hari anak muda Islam masa kini, riuh dan silang sengkarutnya relasi Islam dan persoalan ekonomi, politik dan sosial budaya, menemui bentuknya sendiri dalam kasus yang tampak lebih konkret, yakni persoalan identitas. FANI (17 tahun), masih duduk di bangku kelas tiga salah satu SMU Negeri yang cukup terkenal di Yogyakarta. Saya menemuinya di sebuah toko buku, tepatnya di bagian novel remaja. Dia sedang asyik membaca novel yang diterbitkan oleh Mizan. Setahu saya, Mizan memang mempunyai divisi penerbitan buku anak dan remaja. Saya kemudian menanyakan mengapa dia tertarik untuk membaca buku yang sedang dipegangnya itu. Menurut Fani, dia memang mengkoleksi buku-buku yang ditulis oleh pengarang yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena, jadi setiap kali ke toko buku, yang pertama kali ditujunya adalah rak yang memajang buku-buku tersebut. Fani menyukai ceritanya, karena sebagai cerita mengandung misi dakwah. Meskipun demikian, para penulis bisa menghubungkannya dengan kejadian hidup sehari-hari yang terkesan ringan namun menyentuh perasaan. Selain itu, ceritanya juga mudah dimengerti, tidak muluk-muluk dan juga “tidak terlalu Jakarta”, begitu katanya. Belakangan, Forum Lingkar Pena memang menjadi komunitas pengarang yang sangat produktif dalam dunia penerbitan buku, khususnya sastra, di Indonesia. Nuansa religius dan pesan-pesan moral terasa menjadi “kekhasan” yang dijual kepada pembaca. Salah satu penggagas kelompok ini adalah Helvy Tiana Rosa, seorang cerpenis yang juga redaktur majalah Annida. Hingga kini Forum Lingkar Pena memiliki 20 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Anggota yang dibidik memang kebanyakan remaja, mulai dari yang masih duduk di bangku SMP sampai mahasiswa. Selain mengadakan pertemuan yang membahas persoalan proses kreatif dalam sastra, seringkali forum yang diselenggarakan FLP ini mengundang remaja untuk berdialog tentang Islam dan persoalan sosial masyarakat lainnya, misalnya tentang bahaya televisi, persoalan cinta, dan sebagainya. Fani suka membaca sejak kecil. Apa saja dibacanya, mulai dari komik Jepang, buku politik, sampai buku novel Pramoedya Ananta Toer. Keluarga Fani juga termasuk keluarga yang mencintai bacaan. Tapi menurut Fani, bungsu dari empat bersaudara ini, keluarganya lebih tertarik dengan bacaan-bacaan tentang kajian agama. Ayahnya adalah seorang aktivis di organisasi Muhammadiyah--berawal dari pekerjaannya sebagai seorang guru di SMU yang didirikan oleh yayasan tersebut, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa yang mengisi waktunya dengan kegiatan di kampung dan perkumpulan pengajian. Kakak-kakak Fani dulunya juga bersekolah di sekolah Muhammadiyah. Fani jarang sekali pergi ke mal. Biasanya ia ke sana kalau sungguh-sungguh perlu saja. Misalnya memenuhi undangan ulang tahun teman, atau menemani saudaranya yang datang dari luar kota. Teman-teman sekolahnya, sering juga mengajaknya ke mal, tapi jarang sekali Fani mau. Ia tidak merasakan manfaat berada di sana. Bahkan, bagi Fani, tempat-tempat seperti itu hanya memberikan pengaruh yang buruk bagi remaja seusianya. Selain menjadi konsumtif, tempat-tempat itu juga membuat remaja menjadi malas, dan tidak bisa memanfaatkan waktu luang dengan baik. Belanja, bagi Fani adalah aktivitas yang seharusnya dilakukan seperlunya saja. Begitu juga menonton televisi. Fani hanya menonton televisi saat ada acara-acara yang menurutnya menarik, misalnya acara berita, Discovery Channel's--favorit Fani--atau film-film Hollywood tertentu. Tapi Fani menolak kalau dikatakan ia tidak suka dengan apa yang datang dari “Barat”. Ia menceritakan bahwa ia juga suka mendengarkan Alanis Morissette atau Krisdayanti, meski ia mengakui juga bahwa sejak di organisasi masjid sekolahnya dibentuk kelompok nasyid (musik pop islami), ia jadi senang juga mendengarkan musik itu. Ia memberi catatan khusus tentang Krisdayanti: meski lagunya enak didengar, tapi penampilan Krisdayanti terlalu vulgar dan seronok. Dan justru disitulah Fani melihat kelebihan kelompok nasyid, lagunya enak didengar dan penampilannya sopan. Setiap Sabtu sore, Fani dan teman-temannya berkumpul di musholla sekolah untuk mengadakan pengajian rutin. Temanya dari kehidupan sehari-hari yang mereka alami, misalnya tentang peran anak dalam keluarga, fenomena pacaran remaja, dan lain-lain. Selain bertemu di forum pengajian rutin ini, mereka juga selalu menyempatkan diri untuk berkumpul sebentar di waktu istirahat sekolah, biasanya karena Fani dan teman-temannya melakukan sholat Dhuha atau sholat Dzuhur. Saat seperti itu, pembicaraan mereka jauh lebih santai. Mereka bertukar informasi tentang lagu-lagu baru yang diputar di radio, buku terbaru yang mereka baca atau kejadian sehari-hari di sekolah (tapi Fani menolak jika disebut bergosip, karena menurutnya, mereka tidak membicarakan keburukan orang lain). Fani dan teman-temannya juga sering pergi beramai-ramai ke kantin, bertemu dengan teman-teman dari “komunitas lain”. Bagi Fani, fenomena geng-gengan ini biasa terjadi di SMU, karena remaja pasti membutuhkan teman yang “sehati dan serasa” dan bisa nyambung kalau sedang curhat. Saya sempat bertanya padanya tentang masalah kecantikan. Beberapa teman Fani, meskipun saya lihat memakai jilbab yang rapat, tetapi terlihat cukup modis. Mereka tidak memungkiri bahwa model-model baju yang ditawarkan majalah-majalah remaja sekarang ini sangat menarik perhatian mereka juga, karena membuat remaja perempuan jadi tampak enerjik dan dinamis. Tetapi bukan berarti mereka jadi ingin mengikuti gaya yang ditampilkan di majalah itu. Atau memodifikasi gaya berjilbab mereka agar jadi lebih bergaya, atau yang sekarang sering disebut sebagai “jilbab gaul”. Bagi mereka, aturan dalam agama itu yang utama dalam hidup, termasuk dalam hal berbusana. Sekarang ini, mereka relatif mempunyai banyak pilihan untuk mengompromikan apa yang disebut aturan dalam agama dan keinginan menjadi perempuan modis. Yang penting bagi mereka, orang mempunyai kesan rapi dan bersih atas penampilan mereka. Islam bagi Fani bukan sekedar identitas yang dicantumkan pada KTP atau dokumen penting lainnya. Ia melihat Islam sebagai sesuatu yang membuat hidupnya lebih terarah dan punya makna. Namun, sebagai generasi yang hidup pada saat konflik antar pemeluk agama diberitakan dengan gencar melalui media massa, Fani memandang bahwa semua cara dakwah harus dilakukan dengan damai sehingga tak perlu ada pertumpahan darah untuk memperkuat satu agama atas agama yang lain. SELAIN Fani, saya menemui pula seorang anak muda bernama Heri (25 th). Sehari-hari ia bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli pada persoalan lingkungan hidup. Mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyelesaikan skripsinya ini memang terbiasa dengan kehidupan organisasi, juga kelompok diskusi, terutama yang berkaitan dengan Islam. Sejak remaja, Heri memang tertarik dengan wacana Islam. Semua berawal ketika ia mulai serius mempelajari agama Islam melalui pengajian yang diadakan oleh remaja masjid di kampung tempatnya tinggal, di situ, Heri menyadari bahwa Islam adalah wacana yang begitu lengkap karena ia menampung begitu banyak persoalan, dan mempunyai solusi-solusi yang aplikatif. Islam membuat Heri merasa terlibat dengan persoalan masyarakat secara luas, tidak hanya menjadi “penonton dan konsumen” wacana. Berbeda dengan Fani yang datang dari keluarga dengan tradisi agama yang kuat, Heri lahir di tengah keluarga abangan yang lebih disibukkan dengan usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Nilai-nilai agama di keluarga Heri terasa begitu longgar. Ia tidak dibiasakan oleh orangtuanya untuk sembahyang lima waktu, kesadaran untuk melakukan kewajiban ini justru didorong dari pergaulannya dengan orang-orang di lingkungannya yang sudah lebih dewasa. Dan justru karena ia di rumah tidak mendapatkan kawan untuk bertukar pikiran tentang Islam, Heri makin terdorong untuk aktif di organisasi Islam. Selain menjadi aktivis remaja masjid di kampungnya, Heri juga aktif di organisasi kerohanian Islam di sekolah. Ketika memasuki bangku kuliah, dan tinggal di Yogyakarta, Heri mulai aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di sini, ia belajar manajemen organisasi, dan bagaimana melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis organisasi, selain tentunya, menambah wawasan tentang Islam dan masyarakat. Heri juga sempat bergabung dengan Jama'ah Tabligh, yang memungkinkannya melakukan aktivitas keseharian Islamsembahyang dan mengaji, terutamabersama-sama dalam satu komunitas. Komunitas seperti ini, bagi Heri membantunya untuk terus berada dalam “rel” Islam, karena mereka terbiasa saling mengingatkan jika ada sesuatu yang kiranya tidak sesuai dengan ajaran agama. Untuk mempertajam dan menambah pisau analisisnya, di kampusnya Heri bergabung dengan organisasi kemahasiswaan tingkat fakultas yang menurutnya menawarkan wacana yang lebih plural, dan tidak melulu berdasarkan hukum Islam. Meskipun berada di lingkungan yang cukup ketat menjaga aturan-aturan agama, Heri menikmati kehidupan layaknya anak-anak muda. Sewaktu SMU, ia pernah membentuk kelompok band dengan teman-temannya. Mereka memainkan lagu-lagu dari Bon Jovi, atau Gun 'n Roses. Sampai sekarang pun, boleh dibilang Heri masih menjadi fans Gun 'n Roses. Ia mendengarkan musik-musik pop yang diputar di radio, bahkan beberapa lagu ia hafal syairnya. Begitu “demam” nasyid masuk ke Indonesia, Heri pun membentuk kelompok nasyid bersama teman-temannya. Bagi Heri sendiri, nasyid merupakan salah satu cara yang efektif dan strategis untuk membuat Islam menjadi menarik bagi anak-anak muda. Menurut Heri, bagaimanapun, pada era sekarang ini, daya tarik budaya pop begitu besar bagi anak-anak muda. Sementara, pada sisi lain, kelompok Islam sering melabeli budaya pop itu dengan “tidak Islami”. Heri juga sering nonton film ke bioskop. Ia menyukai film yang bertema perang atau menyangkut kisah sejarah. Kadang-kadang, bersama teman-temannya ia jalan-jalan ke mal, sekedar melepas lelah atau mencari suasana baru. Menurut Heri, setiap organisasi memiliki batasannya sendiri tentang hal-hal yang dianggap “tidak islami itu”, dan biasanya para anggotanya harus berpegang teguh pada aturan organisasi itu. Heri sendiri menceritakan bagaimana ia sering berdebat atau melakukan negosiasi tentang aturan organisasi. Biasanya, ketika perdebatan mencapai kesepakatan, ia merasa puas karena itu berarti ia tidak begitu saja menerima aturan organisasi tanpa mencoba untuk mendapatkan argumen atau rasionalisasinya. Dan bagi Heri sendiri, kebiasaan untuk mempertanyakan sesuatu dan melangsungkan dialog atasnya adalah hal yang penting dalam organisasi, khususnya yang ada dibawah payung agama. Karena terbiasa dengan lingkungan diskusi agama dan politik, kebanyakan buku yang dibaca Heri pun bertema senada. Ia sangat menggemari karangan-karangan Jalaludin Rakhmad. Sekarang ini, karena pengaruh teman-temannya, Heri mulai sering membaca karya sastra, misalnya saja puisi-puisi dari Jalaludin Rumi. Ia mulai tertarik melihat media kesenian sebagai salah satu media berdakwah. Sampai sekarang, Heri berkeyakinan bahwa dakwah adalah hal penting dalam kehidupan muslim. Visi Islam harus diperjuangkan untuk jamaah yang lebih luas; dengan membangun jemaah, bisa membangun pengetahuan. Islam bagi Heri adalah kacamata untuk melihat banyak sekali persoalan. Islam menjadi sarana untuk melihat dan menikmati dunia dengan lebih baik. Dengan belajar Islam, manusia belajar tentang the rule of the game dalam kehidupan. BEGITULAH, kehidupan masyarakat kontemporer memang menunjukkan persinggungan yang cukup kuat antara budaya pop dan agama. Persinggungan ini, selain memunculkan fenomena masuknya nilai-nilai budaya massa dalam Islam, juga sebaliknya, tampilnya dakwah Islam di media populer, memasuki pula ranah-ranah personal anak muda. Fani dan Heri, pada titik ini, menunjukkan bagaimana terjadinya gejala hibridasi antara dua ranah yang selama ini dianggap terpisah, dan bahkan berseberangan. Selain itu, hibridasi antara budaya pop dan Islam juga menjadi suatu representasi atas perubahan praktik kebudayaan Islam di kalangan generasi baru. Dalam diri mereka, ada situasi-situasi tertentu yang menunjukkan identifikasi mereka dengan budaya massa anak muda pada umumnya, sementara ada pula situasi-situasi lain yang dengan jelas menunjuk pada keberadaan diri mereka sebagai muslim. Newsletter KUNCI No. 13, Desember 2003

About La Ode Ali Farisi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Leave a Reply