Select Menu

Slider

Gudang Pengetahuan. Powered by Blogger.

Stats

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing

Videos

» »Unlabelled » Anak Kota Punya Gaya
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

Oleh Alia Swastika

Banyak orang percaya bahwa anak muda identik dengan aktivitas untuk mencari kesenangan. Anak muda selalu dikaitkan dengan waktu luang, kebebasan, dan semangat pemberontakan. Media massa dan industri menciptakan “kebutuhan” anak muda demi kepentingan pasar, yang dikampanyekan sebagai cara bagi anak-anak muda untuk keluar dari identitas yang diinginkan oleh orang tua. Akhirnya budaya anak muda sangat identik dengan penampilan sebagai representasi identitas. Budaya anak muda adalah fesyen, musik dan pesta. Dan tentu, anak-anak muda di kota adalah kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi. Mereka memungut informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio bahkan sobekan poster di pinggir jalan. Mereka punya kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi. Anak muda di kota, selalu punya cara untuk tampil beda. Meski tidak selalu orisinil, karena banyak mengadopsi gaya selebritis yang mereka lihat di majalah dan televisi, tapi anak kota selalu berusaha untuk terus memperbaharui penampilannya. Yang disebut penampilan, bukan saja apa yang melekat pada tubuh semata, melainkan juga bagaimana keseluruhan “potensi” dalam diri memungkinkan mereka untuk menampilkan citra diri tertentu. Dan bahasa, dianggap salah satu hal penting yang akan memberikan ciri khusus pada anak kota. Cara, logat dan pilihan kata dalam berbicara, adalah salah satu dari usaha anak kota untuk membentuk citra tertentu melalui penampilannya. Maka mereka punya istilah “norak” atau “kampungan” untuk gaya-gaya tertentu, yang mereka anggap ingin tampak trendi, namun tidak pantas (dalam bahasa mereka: nggak matching). Istilah ini sekaligus menunjukkan bagaimana mereka memandang anak muda di wilayah bukan kota (untuk tidak menyebutnya desa) sebagai kelompok yang “lebih rendah” dibanding mereka. Biyan, seorang perancang muda menyatakan bahwa semangat kebebasan, sikap cuek alias tidak terlalu peduli pada aturan formal, dan berani menjadi satu karakter khas yang selalu ditampilkan dalam gaya fesyen anak muda. Gaya anak muda tidak lagi mengacu pada perancang yang dulu legitimasinya sangat besar. Anak muda pasca ‘50-an dan ‘60-an masa-masa generasi baby boomers yang mulai menikmati kemakmuran setelah berakhirnya resesi pasca perang dunia- menciptakan modenya sendiri. Kita bisa menelusurinya dari bagaimana anak muda dicitrakan di media dari masa ke masa, kemudian bagaimana citra itu merambah ke dalam kehidupan sehari-hari. Dan menarik juga mencermati bagaimana media massa telah menciptakan satu ikon anak muda tertentu pada tiap jaman. * * * Di Awal ‘80-an, budaya remaja mulai marak di Indonesia setelah kemunculan tabloid dan majalah khusus remaja, terutama Hai dan Gadis. Tak lama setelahnya, sekitar pertengahan dekade, muncul tokoh Boy, melalui film “Catatan Si Boy” garapan sutradara Nasri Cheppy. Tokoh Boy diperankan oleh Onky Alexander. Boy digambarkan sebagai anak kota dari kelas atas yang kaya raya, tampan, dandi (penampilannya rapi dan “berkelas”), jagoan (selalu menang kalau berkelahi dengan “musuhnya”), playboy dan pintar. Saat itu, Onky memperkenalkan gaya celana jeans, kaos oblong yang kemudian dibalut kemeja yang tak dikancingkan. Rambutnya rapi, agak mengkilap (disebut gaya wet-look) karena minyak rambut. Boy juga identik dengan mobil mewah berwarna cerah, serta kaca mata hitam yang tak pernah ketinggalan saat ia ada di jalanan. Gaya Boy inilah yang disebut dengan gaya ‘80-an ala Indonesia. Karakter tokoh ceweknya tak jauh beda dengan Boy; populer, cantik, berdandan modis, cewek baik-baik dan disukai banyak laki-laki. Mereka tampil dengan gaya ‘80-an yang kental dengan warna-warna cerah semacam kuning, merah atau oranye, celana model baggy (paha lebar dan menyempit di bagian bawah), memakai banyak aksesoris—kalung, gelang dan anting yang dipakai bersamaan—kemeja longgar yang terkadang ujungnya diikat serta sepatu olah raga yang santai. Pada saat itu, mulai dikenal juga kebiasaan mengecat rambut menjadi berwana kemerahan atau sedikit pirang. Dalam film ini, anak kota masih bicara dengan bahasa Indonesia yang cukup formal, namun terkesan cukup santai. Mereka menyebut diri dengan kata “saya” dan menggunakan kata “kamu” untuk menyebut lawan bicaranya. Sebenarnya cara mereka bicara dalam film tak terlalu berbeda dengan generasi yang lebih dewasa. Kalimat seperti “Jadi, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” atau “Tunggu ya, nanti malam saya akan jemput kamu!” menjadi dialog yang biasa, yang mungkin akan terasa asing bila didengarkan oleh anak kota sekarang. “Catatan si Boy” juga memberi kita gambaran bagaimana anak kota menghabiskan waktu luang: clubbing di tempat umum macam Ancol atau Blok M, atau membuat pesta dengan breakdance di dalamnya. * * * Setelah Boy, muncul tokoh Lupus di akhir ‘80-an dan awal ‘90-an. Tokoh ini adalah hasil rekaan Hilman, yang muncul pertama kali sebagai serial di majalah Hai. Lupus muncul sebagai tokoh yang sangat bertolak belakang dengan Boy. Kalau Boy berdandan rapi, Lupus cenderung slenge’an. Rambutnya agak gondrong, dan diberi ciri khas jambul, suka memakai celana jeans, kaos oblong dan kadang kemeja tak dikancingkan, serta sepatu kets. Lupus juga tampak berseberangan dengan Boy dari kelas sosial, ia “cuma” anak seorang pengusaha katering kecil-kecilan yang hidup sederhana. Kalau Boy digambarkan dengan mobil mewah, Lupus naik sepeda balap. Akhirnya Lupus muncul juga di layar lebar. Diperankan oleh Ryan Hidayat, ditemani Nike Ardila sebagai Popi (pacarnya) dan Firda Razak (sebagai Lulu, adiknya). Secara umum, gaya berpakaian Lupus dkk. dalam film ini tak jauh beda dengan era si Boy. Juga tentang kebiasaan mereka dalam melewatkan waktu luang. Yang menarik adalah mulai munculnya bahasa slang dan prokem dalam buku dan film-film Lupus. Lupus juga sangat identik dengan remaja yang lucu dan konyol. Jadi jangan heran kalau isi buku ini penuh dengan humor dan lelucon. Kata “gua” untuk menyebut diri dan “elu” untuk lawan bicara mulai populer sebagai gaya baru di buku dan film. Mereka juga mulai menggunakan dialog sehari-hari remaja semacam “Jangan gitu dong!” atau “Lu jangan ke mana-mana, tunggu aja di sini, ntar gua balik kok!”. Bahasa prokem anak muda juga dicomot dari kelompok-kelompok yang dianggap terpinggir dan kampungan, misalnya dialog golongan homoseksual atau dialog dari warga Betawi asli. Seera dengan Lupus, muncul tokoh Olga yang mewakili remaja perempuan di masa itu. Boleh dibilang, ia versi cewek dari Lupus. Di sela-sela mereka, dalam masa yang sama, anak kota punya panutan lain. Namanya si Roy. Ia memberi alternatif bagi remaja pria, yang saat itu cenderung mengikuti gaya Boy atau Lupus. Roy, sangat bertolakbelakang dengan keduanya. Ia memberi gambaran tentang kegagahan yang lain dengan Boy, meskipun sama-sama digambarkan sebagai jagoan yang suka berkelahi. Roy digambarkan sebagai pendaki yang suka memakai tas ransel besar dan sepatu gunung. Baju flanel dan jaket tebal mulai dikenal saat itu. * * * Menjelang dan di awal abad ke-21, representasi anak kota Indonesia muncul dalam film-film independen. Kebanyakan film ini digarap oleh para sineas muda yang sangat “melek” trend terbaru. Dian Sastro, yang muncul pertama kali di film “Bintang Jatuh”, dan kemudian kembali melejit lewat “Ada Apa dengan Cinta”, jadi idola baru remaja. Gang ceweknya di “Ada Apa dengan Cinta”, memberi gambaran tentang gambaran mutakhir anak kota. Mereka berseragam putih abu-abu, dengan rok yang cukup pendek, dan kaos kaki yang hampir mencapai batas lutut. Atasannya menempel ketat di tubuh. Saat ini rambut panjang hitam lurus dan rambut pendek yang tak beraturan jadi “tampilan wajib”. Secara bahasa era ini tak jauh beda dengan Lupus. Tapi makin banyak kata-kata dalam bahasa prokem yang digunakan. Kebanyakan kata-kata ini digunakan sebagai ungkapan kaget atau seruan. Misalnya, “Najong deh, gue!” yang berarti jijik, atau “Garing!” untuk merespon lelucon yang dianggap tidak lucu. Atau juga “Bete!” untuk menyebut keadaan yang tidak mengasikkan. Harus diakui, bahasa anak Jakarta lah yang selama ini mendominasi penggunaan bahasa lisan anak muda Indonesia. Bagaimana bahasa prokem Jakarta tersebut tersebar? Jawabannya mudah. Ada media massa—yang secara umum bisa dikatakan berpusat di Jakarta—yang membawa bahasa lisan ini ke seluruh pelosok melalui perangkat-perangkatnya. Menurut Dede Oetomo (1986) peran Jakarta sebagai ibukota, tempat orang-orang Indonesia yang memang atau dianggap paling berkuasa, paling cantik, paling kaya dan sebagainya berada, penting dalam menyebarkan bahasa Indonesia. Media dan perangkatnya—terutama televisi dan radio—telah membuat logat Jakarta menjadi logat yang seolah-olah paling keren dan paling enak didengar. Di Indonesia, bukan hal yang aneh kalau kita mendengar radio-radio di daerah (bukan Jakarta) yang segmennya anak muda, penyiar-penyiarnya berbicara dengan dialek yang seragam. Seolah-olah, kalau tidak memakai gaya Jakarta, itu bukan gaya anak muda. Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003

About La Ode Ali Farisi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Leave a Reply